Monorel Tanpa Intervensi Asing Proyek Nasional Pertama, Tiket Gunakan Sistem Smart Card
Tahap pertama pembangunan monorel direncanakan di pusat Kota Makassar. Solihin Jusuf Kalla mengungkapkan, tahap pertama pembangunan pada jalur green line dengan panjang 15 kilometer. Jalur monorel menghubungkan Makassar Mall- Ahmad Yani-Pantai Losari-Jalan Jenderal Sudirman-Alauddin-Pettarani-Urip Sumoharjo.
Kendati lintasan monorel berada di median jalan, namun tidak akan merusak jalur hijau. Tiang lintasan dapat ditinggikan atau berada di antara pepohonan dan gedung. Setiap stasiun juga mampu melayani warga dalam radius dua kilometer, tetapi dengan perbaikan jalur pedesterian.
Monorel menjadi solusi mengatasi kemacetan dengan konstruksi jalur lintasan melayang. Tiang penyangga lintasan berada di median jalan dengan dimensi satu meter persegi. Rangkaian monorel terdiri dari tiga unit gerbong berkapasitas 375 penumpang.
Dua lintasan atau track gerbong bertumpu di atas tiang penyangga. "Durasi waktu antara rangkaian gerbong satu dan lainnya fleksibel, sekitar 3-5 menit sehingga sangat mendukung mobilitas masyarakat yang cepat," tutur Solihin.
Sistem tiket monorel di Makassar mengadopsi e-ticket di Singapura menggunakan smart card. Investor berharap pemerintah dapat memberikan subsidi tarif, sehingga semua kalangan dapat menikmati transportasi modern yang lebih nyaman. Tarif monorel direncanakan antara Rp7000 sampai Rp10 ribu sekali jalan.
Wali Kota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin mengaku telah berkonsultasi dengan gubernur terkait subsidi tarif. "Masyarakat sebenarnya sangat diuntungkan dengan hadirnya transportasi lebih cepat dan nyaman. Kehilangan akibat terlalu lama di jalan bisa ditekan," tuturnya.
Waktu tempuh dari pusat kota ke Daya misalnya, hanya sekira 20-30 menit. Selama ini, waktu tempuh menggunakan petepete bisa mencapai 1,5 jam. Kemacetan di Makassar memang sudah cukup parah, kendati penambahan volume jalan dilakukan akibat volume kendaraan yang juga terus bertambah.
Sarana angkutan yang beroperasi di ruas jalan Makassar sekitar 700 ribu setiap hari. Jumlah ini terus bertambah dibanding 2009 lalu yang tercatat sekitar 514 ribu orang per hari.
Jusuf Kalla menyebut kemacetan di Makassar nyaris mirip di Jakarta. Sekitar 30 persen waktu produktif hanya dihabiskan duduk di kendaraan. Waktu produktivitas hilang dan masyarakat mengalami banyak kerugian akibat kelamaan di angkutan umum.
Ketersediaan angkutan massal di Kota Makassar sudah sangat mendesak. Selama ini, masyarakat banyak memilih menggunakan kendaraan pribadi, karena tidak tersedia angkutan massal yang nyaman dan lebih cepat.
Kondisi ini berimplikasi pada kemacetan yang parah. Penggunaan badan jalan sebagai lokasi parkir kendaraan semakin memperparah kondisi lalu lintas.
Apalagi, sepanjang Jalan Urip Sumoharjo dan Jalan Perintis Kemerdekaan telah berkembang menjadi kawasan bisnis, pendidikan, dan permukiman, sehingga sangat rawan kemacetan. "Investasi dan industri semakin banyak yang masuk karena kota telah ditunjang infrastruktur yang lebih baik," tutur JK.
Penerapan monorel di Makassar dinilai lebih tepat dibanding moda angkutan massal lainnya seperti busway dan subway. Bahkan, bila dibanding busway, investasi pembangunannya lebih murah.
JK menyebut busway sebagai angkutan massal dengan ongkos atau investasi termahal. Jalur khusus busway memanfaatkan badan jalan selebar lima meter atau hampir 1/3 total lebar jalan. Biaya pembebasan lahan saja bisa mencapai Rp5 triliun. Belum biaya pengadaan unit bus dan perawatannya.
Transportasi modern lain seperti subway dengan jalur lintasan di bawah tanah seperti yang dikembangkan negara maju, lebih rumit lagi diterapkan di Indonesia secara umum. Pembangunan yang tidak terancang dengan baik serta sistem drainase yang buruk menjadi kendala pembangunan subway.
Pengumpan
Pengoperasian monorel di Makassar tidak akan mematikan atau menghilangkan petepete atau alat transportasi lain yang lebih dahulu eksis. Petepete dan lainnya justru menjadi feeder atau pengumpan ke stasiun monorel.
Solihin Jusuf Kalla mengemukakan, keberadaan feeder yang mengangkut penumpang ke stasiun monorel justru sangat dibutuhkan. Penyediaan feeder bahkan masuk dalam bagian MoU yang harus disiapkan pemerintah menunjang monorel.
Kepastian tetap eksisnya petepete juga dikemukakan Ilham Arief Sirajuddin. Jarak tempuh lebih singkat membawa penumpang ke stasiun monorel dengan biaya yang tetap sama. Monorel justru menguntungkan sopir petepete.
Angkutan kota berpenumpang maksimal 10 orang itu mulai kekurangan penumpang sejak warga lebih banyak beralih kendaraan pribadi seperti sepeda motor maupun roda empat. Tidak sedikit pengusaha petepete yang mengeluhkan kekurangan penumpang.
Jumlah petepete yang tercatat beroperasi resmi di Makassar sekitar 4500 unit. Namun, jumlah petepete tidak resmi juga tidak sedikit. Pemkot Makassar mencatat sekitar 8000 unit petepete yang beroperasi resmi dan ilegal. (*)
0 komentar: